Translate

Wednesday, August 4, 2010

Liputan Angin Timur

dikutip dari :

Koran Merapi pembaruan, Selasa wage, 20 Juli 2010 halaman 5

Komunitas Angin Timur

Seni Gayo di Tangan Joel Lennon

Membanjirnya budaya populer, terlebih dalam hal musik yang banyak dipengaruhi unsur budaya barat, sedikit banyak berimbas pada akar budaya lokal. Tapi tidak perlu langkah frontal untuk membendung agar tidak mempengaruhi kearifan lokal. Hanya perlu filter yang mampu menyaring agar sesuai dengan kepribadian bangsa.

Bermula dari pemikiran itulah Komunitas Angin Timur coba kembali ‘membangunkan’ akar budaya tradisi yang mulai surut keberadaanya. Hal tersebut mereka lakukansebagai counter terhadap budaya populer kebarat-baratan yang belakangan ini menggejala.

“Kegiatan ini sebagai apresiasi atau sharing Komunitas kebudayaan. Kalau bisa, kedepannya semua kebudayaan lokal yang ada di Indonesia akan kami tampilkan. Kami ingin tunjukkan bahwa sebenarnya bangsa Indonesia punya musik sendiri. Yakni musik yang tumbuh berkembang di tiap jengkal wilayah ibu pertiwi,” papar Joel Lennon, Komposer sekaligus penanggung jawab acara kepada merapi usai menggelar pentas di Kafe Bukit Bintang Dua Jalan Parangtritis Km 5 Pelem Sewu Sewon Bantul, Sabtu (17/7) malam.

Pada kesempatan tersebut, Joel Lennon cs menghadirkan musik daerah asal Gayo Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). DikatakanJoel, bagi masyarakat Gayo, musik dijadikan pengantar aktivitas keseharian. Karena itulah tidak heran jika esensi musik tersebut banyak menggambarkan perilaku masyarakat seperti bertani, berladang dan lainnya. Termasuk adanya Tari Saman yang menurut Joel, dulunya hanya ditarikan oleh laki-laki.

“Kami giring anak muda untuk sedikit peduli pada musik atau budaya sendiri. Meskipun secara kualitas kebudayaan agak kurang karena sebatas menjalankan, tapi sudah lebih baik daripada tidak sama sekali. Sebab kalau langsung diajak masuk aktif berkebudayaan, tentu sangat sulit. Semoga saja langkah ini lebih bijak dalam menyikapi kondisi yang ada,” imbuh Joel.

Sedang terpisah, pengelola Kafe Bukit Bintang Dua, Bagus, kepada Merapi mengungkapkan bahwa tempat itu memang diprioritaskan untuk menampung komunitas kebudayaan. Hal tersebut sebagai upaya pendukung tumbuh kembangnya budaya bangsa.

“Hanya saja kami tidak akan membuat konsep hiburan terbuka. Cukup bagi komunitas yang ingin mengadakan acara, kami siapkan tempat dan peralatan yang diperlukan,” kata Bagus. (Feb)-b